Skip to main content

Aku Jatuh, Cinta


Kita membuat pembicaraan dadakan di bawah hujan deras, tengah malam. Ditonton beberapa pasang mata pasangan yang kala itu sedang meneduh, mereka yang seolah takut dan mengganggap hujan musuh musiman. Mungkin kita sedang gila, beberapa pasang mata membicarakan kita seperti itu. Tapi biarlah, yang penting aku dan kamu, atau bahasa lainnya, kita, sedang di bawah hujan, berdua.
“Kamu gila! Apa kamu tak memikirkan perasaanku? 5 tahun bersama, 5 tahun aku tak pernah sekalipun dekat dengan pria lain, dan bahkan cuma aku yang setia dan mau mencintaimu dengan tulus, ini balasanmu?! Lelaki tolol! Tak ingat kalau bulan depan kita akan menikah?!”
“Saya cuma..”
“Sudah berapa lama kamu sama dia, hah?! 2 tahun?! Gadis yang kamu bilang sepupumu itu?! Bajingan! Lebih baik kamu mati aja! Siapa lagi yang mengharapkan kamu hidup selain aku? Cuma aku, dan nggak lagi mulai sekarang. Kita berakhir!”
Marahku meledak, murka. Tanpa sadar, tanpa bisa lagi ditahan. Aku berlari, aku buang handpone-nya yang saat itu aku genggam ke arah dada sebelah kanannya. Aku tak menangis, aku tak mengeluarkan airmata. Mungkin iya, tapi tersamarkan air yang juga turun ketika itu dari langit. Dia tak mengejarku. Tidak sama sekali, mungkin dia juga sama, mau kita benar-benar berakhir.
Aku mau melupakan semuanya.
Semuanya.
-o-
Pagi yang cerah, aku dibangunkan kabar bahwa doaku didengar Tuhan. Doa dari seorang anak yatim piatu, yang ternyata doanya mujarab. Doaku didengar Tuhan. Iya, mantan kekasihku mati, dini hari tadi. Pendarahan di bagian kepala akibat kecelakaan yang tak terhindari lagi, helmnya terlempar jauh, dan kepalanya membentur trotoar jalan di daerah Kemanggisan, tak jauh dari  tempat tinggalku saat ini.
Aku tak pernah menginginkan ini benar, Tuhan. Jauh didasar hatiku, aku masih dengan jelas mencintainya. Sangat mencintainya.
-o-
Pada upacara pemakamannya, aku mengenakan pakaian hitam-hitam sebagaimana kebanyakan orang. Ditambah dengan kacamata hitam, untuk menutupi kedua mata yang lebam, sembab, dan bengkak karena semalaman airmata menghujani kedua pipiku ini. Riuh ribuan doa dari tamu yang melayat, bagiku seperti sepi. Seperti cuma ada aku dan dia, ditemani sesal dan kesal terhadap diri sendiri. Aku cuma bisa menunduk, memeluk tanah kuburan yang masih basah yang cuma bisa digenggam tangan.
Satu-persatu pergi, menyisakan aku dan beberapa saudara dekatnya yang masih ingin menemani kepergian terakhir Edho sebelum dia dibawa malaikat untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di depan Tuhan.
“Kita akan menikah sebentar lagi, sayang. Kenapa malah kamu pergi duluan? Kenapa? Kenapa kamu malah selingkuh? Kenapa nggak bilang maaf waktu itu? Pasti aku nggak akan ngomong macem-macem waktu itu.” Airmataku berderai, sesenggukan.
“Mbak, kamu nggak apa-apa?”
“Ngapain kamu sok peduli?! Kalau aja kamu nggak hadir di antara aku sama mas Edho.. Ah, sudah nggak ada gunanya membicakan orang yang sudah meninggal. Silahkan, rebut calon suamiku, sekarang.” Ucapku, penuh emosi. Aku pernah kenal dengan wanita ini, Edho pernah mengajakku berkenalan dengannya waktu aku sedang opname karena sakit Typhus. Dia memperkenalkannya sebagai apa? Iya, sebagai sepupu yang ternyata simpanannya selama 2 tahun terakhir ini, sampai persiapan pernikahan kita. Sampai begitu rapih menyimpan rahasia dan tak terlihat sedikitpun ada masalah di antara kita, sampai aku baru tahu sekarang.
“Aku minta maaf. Sebenarny..”
“Silahkan ambil calon suamiku.” Belum selesai wanita itu berbicara, sudah kupotong ucapannya sambil berlalu cepat-cepat.
Sore itu, langit yang awalnya cerah, kemudian mendung dan mulai turun remis gerimis menyirami makam satu-persatu tetes, sampai akhirnya airnya jatuh secara ribut.
-o-
“Don’t go away,
Say what you say,
Say that you’ll stay,
Forever and a day,
In the time of my life.
Cause I need more time,
Yes, I need more time,
Just to make things right…” – Oasis - Don’t Go Away
Lagu-lagu favorit Edho sengaja kuputar keras-keras. Entah, malam ini rasanya ingin menyia-nyiakan waktu semalaman untuk meluapkan rasa berkabung atas kehilangan sesuatu yang besar. Pikiranku kalang-kabut, ribut. Tiba-tiba sekelebat angin malam memeluk tubuhku, memutarkan ribuan cerita yang kubuat bersamanya, di layar lebar berwarna putih di dalam teater benak punyaku.
“Kamu selingkuh? Kamu ingat kan, minggu lalu kita abis bertunangan? Kampret!” Emosiku meledak-ledak saat melihat Edho dan mantannya saling memegang tangan.
“Kamu tuh apa-apaan sih? Datang-datang langsung marah-marah. Tanya dulu kek.” Ucap Edho, santai. Edho tak pernah bisa marah yang meledak-ledak sepertiku. Mungkin karena dia ialah tipe orang yang begitu santai dalam melakukan sesuatu, bukan tipe yang senang terburu-buru, sangat beda denganku.
“Kamu tuh yang apa-apaan. Kamu emang nggak pernah bisa ngehargain perasaan aku. Aku udah begitu percaya sama kamu. Tapi apa?! Kalau kamu mau sama dia, akhiri dulu kita.” Kali ini ucapan emosiku bercampur tangis. Begini ternyata ya rasanya cinta. Kalau sudah terlanjur sayang, dikecewakan sedikit saja pasti terasa lukanya entah seperti apa.
Edho memelukku, erat. Membiarkanku memukuli dada sampai ke punggungnya keras-keras.
“Sayang, hei. Sayang. Saya ini sangat sayang sama kamu. Saya sayang banget sama kamu.”
“Kamu bohong..” lagi-lagi aku tak bisa menahan tangis.
“Saya sayang banget sama kamu. Percaya sama saya. Saya bener-bener sayang sama kamu. Buat apa saya ngelamar kamu kalau saya emang nggak sayang?” Edho meyakinkanku lagi.
“Kamu… hiks..”
            Selalu ya, pelukan ialah obat penenang paling mujarab yang pernah ada. Hatiku tak lagi kacau, tak jadi meracau, dan percayaku padanya tak lagi mengacau.
“Maaf ya, sayang. Aku belum sempet bilang kalau Fay minta bantuanku buat kelarin projeknya. Beneran nggak ada maksud lain.”
“Terus, kenapa tadi pegang-pegangan tangan?” Tanyaku, masih belum sepenuhnya percaya.
“Tadi Edho cuma bantuin aku kasih tissue karena tanganku luka, aku jatohin gelas tadi, gak sengaja. Kalau nggak percaya, ini bekas lukanya. Maafin aku ya udah bikin salah paham.” Tegas Fay, mantannya, menguatkan yakin.
“Tuh kan, yang. Udah ya, percaya kalau saya ini beneran sayang banget sama kamu.”
“Iya..” Jawabku, pelan.
“Saya sayang banget sama kamu.”
“Aku juga…”
-o-
Don’t go away,
Say what you say,
Say that you’ll stay…
“Kamu jangan jauh-jauh dari saya ya. Saya sayang banget sama kamu.”
            Pelukan Edho begitu menenangkan. Segala saat bersamanya juga menyenangkan. Si kurus tinggi berkulit agak sawo matang, berhidung cukup mancung, dan penampilannya yang rapih ini begitu senang membuatku jatuh cinta berkali-kali.
“Aku juga sayang banget sama kamu. Janji ya, cuma ada aku, di hati kamu.”
“Janji.”
Malam itu, larut bersama pelukan sampai pagi, sampai bercinta memeluk kita yang sedang saling jatuh cinta. Tuhan, aku mencintainya, jangan hilangkan dia dari ingatan, jangan juga hilangkan kian banyak rasa yang kita punya. Kita saling cinta, Tuhan.
-o-
“Saya nggak bisa jemput kamu ya, yang. Saya harus lembur malam ini. Dinner kita diganti besok malam aja ya. Saya janji.”
            tut… tuuut… tuuut..
Belum selesai aku membalas ucapannya yang begitu senang membatalkan janji, Edho langsung menutup teleponnya. Padahal dia begitu tahu, aku mudah kesal kalau dia seenak jidat menutup telepon tanpa bilang “I love you” atau “aku sayang kamu” atau setidaknya sekedar mengucapkan salam.
Edho benar-benar mengesalkan malam ini. Dia bukan cuma seenaknya membatalkan, dia bahkan tak ingat bahwa malam ini kita menginjak tahun keempat dari pertama kali kita saling jatuh cinta.
SURPRISE!” Beberapa belas teman dekatku, juga Edho, sudah berkumpul dengan hebohnya di rumah kontrakanku yang tak seberapa besar. Mereka berhasil mengejutkanku. Huh!
“Selamat 4 tahunan ya, kalian!” Ucap Raya, salah satu sahabat terdekatku. Apa sih ini, Edho lagi-lagi paling bisa mengejutkanku, senang membuat kesal, dan senang membuat senang.
            Ada pementasan drama di atas panggung kecil yang dibuatkan mereka di teras belakang rumah. Entah drama macam apa, terlihat begitu berantakan.
“Maaf Mas, boleh saya minjem handphone-nya sebentar?” Raya membuka dialog.
“Bilang aja kalau Mbak mau kenalan sama saya. Hehe.” Dandi membalas dengan begitu sok pedenya.
“Saya lagi nggak bercanda. Saya lagi nunggu orang, tapi handphone saya mati. Saya udah nunggu 2 jam di sini.” Raya begitu serius, dan sedikit agak sinis.
“Ini. Sebentar aja ya, saya juga lagi buru-buru. Oh iya, sekalian simpan nomormu dan namamu ya.”
“Nomorku buat apa? Haha, bilang aja kalau situ yang mau kenalan sama saya.” Sekarang malah Raya yang terlihat begitu pedenya.
“Jangan ge-er dulu, Mbak. Nanti saya minta ganti pulsanya. Hari gini mana ada yang gratis.”
“Haha, iya. Hari gini orang baik itu langka banget ya, Mas.” Ucap Raya, menyindir, sinis.
            Beralih ke scene 2, aku baru menyadari, ternyata semua dialog tersebut adalah dialog yang kupakai lebih dulu dibanding drama mereka, waktu itu, waktu pertama kali bertemu dengan Edho di sebuah Mall yang cukup besar di bilangan Jakarta.
“Hai, Tara. Saya Dewa Edho Dirgantara, yang waktu itu meminjamkan handphone untuk numpang menelepon temanmu. Kapan pulsaku diganti?” Dandi sedang berakting menelepon, gayanya begitu sedikit mengesalkan. Mau meniru Edho, malah terlihat berlebihan seperti aktris presenter papan atas yang agak melambai.
“Nanti malam deh, sepulang aku kerja. Sekarang lagi sibuk. Bye.”
“Se.. sebentar. Saya becanda kok. Nanti malam bisa ketemu? Kamu designer, kan?”
“Kamu ini apa-apaan sih? Maunya apa? Iya, nanti malam saya ganti. 100 ribu, cukup kan?”
“Kantor saya lagi butuh freelance designer untuk buat desain produk baru. Saya cuma mau ngomongin itu kok.”
“Kamu tahu dari mana?”
“Bio kamu, di twitter.”
            Aku malah tertawa terbahak-bahak di antara teman-teman yang lain yang diam khidmat menyaksikan drama bodoh itu. Ternyata Edho sampai sebegitu niatnya mencari tahu tentangku dari dunia lain. Duh, maksudku dunia maya. Semua tentangku, kesukaanku, aktivitasku, semuanya dijadikan bahan pembicaraan kita di kala bertemu.
Edho benar-benar mencintaiku.
Drama belum selesai, Edho tiba-tiba naik ke panggung membawa gitar, kemudian menyanyikan lagi-lagi lagu favoritku.
“Because maybe,
You’re gonna be the one that saves me,
And after all,
You’re my wonderwall” – Oasis - Wonderwall.
“Tara, kita udah 4 tahun sama-sama. Saya tahu kamu sayang sama saya, dan saya juga sayang banget sama kamu.” Edho menarik nafas dalam-dalam, dan aku masih bingung tentang apa yang selanjutnya akan dia lakukan. Manusia satu ini… “Would you be mine, to spend the life together, forever? I love you so damn much, Ditara Dian Wahyuni.” Edho menghampiri, kemudian berlutut di hadapanku sembari memberikan cincin. “Would you, my wonderwall?” Edho lagi-lagi meyakinkanku. Dia, melamarku.
Ini. Berasa. Surga.
I love you so damn much. I love you. Aku.. Mauuuuuuu!” Aku memeluknya begitu erat.
Hari ini, tanggal 13 Maret 2011, adalah momen yang takkan pernah mungkin kulupakan. Edho adalah ada, ada yang begitu pandai membuat apa pun menjadi ada-ada saja.
“Kamu itu diciptakan Tuhan untuk menjadi jodoh saya, Tara.” Edho masih memelukku, erat.
-o-
Praaak!
            Botol minuman yang terjatuh meng-collapse-kan lamunan tentang kisah-kisah yang baru saja ter-expand dengan begitu jelasnya. Aku tertegun kaku, masih di kursi teras taman belakang sedari 5 jam lalu. Kemudian terdengar suara mobil parkir di depan rumah.
Pukul 3 pagi.
“Tar, lo baik-baik aja kan? Gue khawatir banget sama lo. Tadi gue kebangun dan keingetan lo. Makanya gue ke sini. Tar…” Raya memelukku, erat. Terlihat jelas begitu besar kekhawatiran di wajahnya.
“Gue udah nggak punya siapa-siapa lagi, Ray. Udah nggak ada lagi yang sayang sebegitu besarnya ke gue.” Aku berisak, badanku berasa sedang pada titik melemah paling bawah. Lemah, ditambah setengah mabuk.
“Yang sabar ya. Mungkin Tuhan punya rencana lain yang lebih indah buat lo, Tar.” Kalimat Raya begitu basi, begitu umum, sudah sekian banyak umat manusia berucap seperti itu kalau bicara tentang kehilangan.
“Gue nyeseeeel. Gue benci diri gue sendiri. Kalo aja waktu itu gue bisa jaga omongan gue sendiri. Semua nggak akan seperti ini…” Tangisku semakin kencang, semakin panjang.
“Lo ngomong apa emangnya? Tar… Lo dari dulu emang nggak pernah berubah, nggak bisa kontrol emosi.”
            Badanku benar-benar lemas. Kali ini badanku sampai jatuh tertidur di lantai teras. Raya meraihku, kemudian memeluk lagi.
“Waktu itu, pertama kalinya Edho ketahuan selingkuh. Udah 2 tahun, Ray. Lo bayangin gimana sakit hatinya gue. Dia bohong sama gue. Gue kesel, gue marah, sampai akhirnya gue bilang..” Aku menghela napas. “Mendingan kamu mati. Udah nggak ada lagi kan yang peduli sama kamu selain aku?! Gue bilang begitu, Ray. Dan besok paginya, gue denger dia kecelakaan. Ray, gue udah bunuh Edho pake sumpah gue sendiri. Edho meninggal, Ray. Edho ninggalin gue. Edho lupa kalau kita bakalan nikah… Ray, gue…” Tangis makin menjadi. Isakannya jadi semakin terdengar jelas.
“Semua itu kendali Tuhan, udah takdir. Kalau Tuhan mau berkehendak, nggak akan ada yang bisa sekalipun nentang kehendaknya. Udah ya, ikhlasin pelan-pelan.” Raya mengusap-usap bahuku.
“Tapi lo tahu kan, Ray? Kalau doa anak yatim piatu kayak gue gini lebih cepet dikabulin Tuhan? Banyak orang-orang kok yang ngomong gitu. Berarti kan Edho meninggal gara-gara gue. Ray..” Aku memukuli kepalaku sendiri, sesal begitu kuat, sesak begitu rekat.
“Lo itu masih aja selalu sok tahu. Ya enggak lah, bukan karena lo. Kalau pun emang begitu, jadi pelajaran kan buat lo untuk nggak lagi-lagi ngomong sembarangan. Jaga tuh mulut, kontrol tuh emosi. Gue sayang banget sama lo, Tar.”
Beruntungnya aku, masih ada Raya yang mau menenangkan. Raya, sahabatku sedari 7 tahun yang lalu. Yang begitu tahu tentangku, kehidupanku. Hatiku sudah tak sekacau sebelumnya. Sesudah tahu hatiku sedikit tenang, Raya pamit pulang.
-o-
            Sudah pagi, hampir siang. Pikiranku masih dihiasi segala tentang kemarin. Bukan cuma kemarin, tapi tentang Edho juga.
Cinta, selamat jalan.
Selamat menemui dunia yang sebenarnya, dunia yang abadi, dunia yang saat ini tanpa aku.
Cinta, aku mohon izin. Aku masih mau kesal dan penuh sesal untuk beberapa hari ini kepadamu.
Aku kesal, kenapa kamu memilih meletakkan kepalamu di bahu cadangan perempuan lain saat aku berbuat salah atau penuh sibuk dengan pekerjaanku, saat aku tidak bisa selalu di sampingmu? Kenapa malah bukan mengingatkan agar bisa kuperbaiki, agar tak kuulangi lagi. Ah, mungkin sudah, tapi aku yang tidak menyadari. Iya, iya. Aku juga salah, selalu mau diperhatikan, tapi tak mau mengertikan. Aku mohon maaf, dan sudah memaafkan kamu.
Aku sesal. Masih tentang seandainya. Seandainya waktu itu… ah, aku memang cuma manusia. Sebenarnya benci dengan kata ‘seandainya’, tapi masih saja tetap dilontarkan. Seandainya ada keajaiban, aku mau kamu hidup untuk selalu memelukku.
Cinta, aku masih dengan jelas mencintai kamu.
Aku melemah. Kamu masih yang segala-galanya. Aku masih cinta segila-gilanya.
Aku jatuh, cinta.
Aku masih sangat ingin memelukmu. Untuk terakhir kalinya, datanglah ke mimpiku.
Aku mendoakanmu untuk kebahagiaanmu di sana. Dan aku mendoakanku untuk perlahan-lahan melepaskanmu.
Edho, kepadamu aku jatuh cinta.
Dan saat ini, aku jatuh, cinta.
Aku membenamkan diri di bathtub yang berisi air penuh. Bukan, bukan untuk menyiksa diri. Justru untuk menenangkan, ditemani aroma therapy, dan musik dari lagu-lagu kesukaan Edho. Mudah-mudahan aku siap menghadapi hari ini, esok, dan seterusnya tanpa Edho. Raya bilang, umurku masih terbilang muda untuk mencari jodoh yang sesungguhnya, dan tak usah menghawatirkan soal itu. Umurku masih 26 tahun. Masih cukup muda, bukan?
Bekasi, 12 April 2013.

Comments

Popular posts from this blog

Alay vs Bopung .. waw (*new)

Awkey, selamat datang kembali di miss.idiot's blog. Udah lama yah gue gak nulis. kangen juga .. Pada kangen kan sama gue ? (pasti jawabannya 'enggak!') yaudah, lanjut deh ..... 'Alay? Bopung? apaan sih tu?, ada yang tau gak?' Yap . Anak muda jaman sekarang sungguh sangatlah kreatif dalam menciptakan sebuah istilah gaul. Yang pasti bukan gue yang menciptakan istilah tersebut, karena gue bukanlah anak gaul. Hoho. Sepertinya semuanya sudah tau. Terlihat dari tampang saya yang lugu ini. (Hak Cuih Pret!) Jadi, Kemaren gue iseng2 buka bulletin board di friendster, ternyata rame banget ya coy(maaf, saya terkena Budi Anduk Syndrome. haha) ada yg cuma nulis 'onlen onlen, komen dong' , 'i love u so much' , 'brengsek! bajingan' , etc, entah itu di tujukan untuk siapa. Tapi mata gue hanya tertuju pada satu bullbo(bulletin board) entah itu buatan siapa, yang pasti isinya lumayan menarik buat di analisis. Yap. Karena gue belum pernah denger kata2 atau

Aku, Dia, Cinta, dan Diam

Jadi begini rasanya mencintai diam-diam. Melihatnya dari kejauhan saja, senangnya luar biasa bukan main. Ya, aku mengaguminya bahkan sekaligus mencintainya sudah hampir 6 tahun, secara diam-dialm. Seharusnya cintaku bunyi, tak cuma diam. Sebab kami saling mengenal satu sama lain, dan bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger. Yudha Andhika, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Yudha dengan Leona -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku. Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Fils

Kalau Tak Cinta, Pasti Tak Akan Luka

“Kamu di mana?” Entah sudah berapa banyak text message dariku yang memenuhi layar handphone -nya tapi tak digubris juga. Pun entah berapa puluh banyak Missed Call dariku yang ikut menyemaraki. Randi sengaja menghindariku, atau memang ada sesuatu di luar kendali yang terjadi? Seingatku, tak ada masalah besar antara kita di hari-hari yang lalu.  Entah ada apa dengan dia hari ini, menghilang 24 jam tanpa ada kabar, tak seperti biasanya. Perasaanku tak enak. Sejenak pikiran itu membawaku melangkah mendekati tempat tinggalnya, di sebuah kost pria di daerah Jakarta Selatan. Kuketuk pintunya, padahal kutahu kalau isi kamarnya kosong, tapi tetap saja kuketuk pintunya. Berharap ada jawaban, tetapi tetap saja tak ada. Kemudian ada langkah mendekat yang kudengar dari belakangku. “Mbak, cari Mas Randi ya?” “Iya, Bu. Ada kepentingan.” “Mas Randi tadi pagi pergi. Katanya mau ke luar kota. Ke Solo kalau nggak salah. Ada urusan kerjaan katanya.” Ucap Ibu-ibu separuh baya yang sambil mengg