Karena menghindari pertanyaan Ibu yang seperti itu, mau tidak mau aku harus melepas rasa nyaman berada di atas kasur dan melepas headphone dari musik-musik Coldplay yang sedang terputar merdu dari iPod ber-case warna merahku ini. Yang mengesalkan lagi adalah, berpikir siapa yang harus kukencani, ah maksudku sekedar menemani minum kopi di sebuah Kafe, seperti itu.
Senja hilang, datang malam. Tanda sebentar lagi Ibu mengetuk pintu untuk mengajak makan malam bersama, dan tentu Ibu sudah menyiapkan pertanyaan yang-sangat-sangat-malas-untuk-kujawab. Dengan cepat aku meng-scroll phone number di contact smartphone-ku sambil berpikir siapa yang akan kutelepon. Ah, Dandy saja. Sahabat baikku sedari SMA, yang kebetulan sedang berada di Jakarta karena libur kuliah.
Setengah jam dari sehabis kutelepon, Dandy datang menjemputku. Kita pamit, Ibu hanya bilang hati-hati di jalan sambil tersenyum. Ibu pasti mengira Dandy adalah kekasihku. Ah biarlah.
Tiba di sebuah Kafe, aku memilih meja yang sedikit jauh dari ramai, di sudut ruang dekat jendela, dan disuguhi pemandangan lampu-lampu mobil yang lalu-lalang, pula musik pengiring dari klakson yang berebutan berbunyi seakan tak mau kalah karena macet di Jakarta yang tak lagi asing.
Dua cangkir kopi hangat, pengerat bincang dua manusia. Ya, aku dan Dandy. Bincangan kita tentang kesibukan dan kehidupan perkuliahan semakin membuat kita excited untuk terus bercerita. Sampai akhirnya membahas soal cinta.
“Kekasihmu sekarang siapa, Gin?”
“Masih
sama seperti dulu. Cintaku masih berhenti dihatinya.”
“Siapa,
Faudy? Dia sudah lama punya kekasih baru, Gin. Jelas kamu tahu kan itu?”
“Faudy
bilang dia masih mencintaiku.”
“Dia
tidak mencintaimu, Gina. Dia mempermainkanmu.”
“Aku
tidak mencintaimu, Dandy. Dan kamu mempermainkan hatimu sendiri.”
“Aku
mempermainkan hatiku sendiri?”
“Iya. Jelas kamu tahu aku tidak pernah mencintai kamu, dan tak bisa. Tetapi masih saja kamu dengan perasaan itu.”
“Iya. Jelas kamu tahu aku tidak pernah mencintai kamu, dan tak bisa. Tetapi masih saja kamu dengan perasaan itu.”
“Kamu
hanya kekasih gelapnya. Bukan pemilik hatinya yang sebenarnya. Sudahlah.”
“Kamu
jangan banyak berharap tentangku. Hatiku mencintainya.”
“Begini
deh. Coba posisikan kamu adalah kekasih Faudy yang sebenarnya, kemudian kamu
tahu Faudy berselingkuh. Sakit, kan?”
“Kamu
tahu isi hatiku, kan? Tidak ada kamu, kan? Kenapa masih mau bertahan dengan
rasa yang sama, padahal kamu dengan jelas tahu perasaanku terhadapmu. Sakit,
kan?”
Dandy terdiam. Ia menggenggam kuping cangkir dan menyeruputnya dengan pura-pura perlahan. Ada semburat wajah kesal sedikit terlihat. Kemudian disusul aku yang menyeruput air kopi yang mendingin sendiri, kubiarkan cangkirnya diam singgah di bibir, berharap menutupi wajah, padahal hanya di bagian sekitar hidung, bibir atas, dan setengah dari dua pipi.
“Sampai kapan kamu begini?” Dandy memecah hening.
“Entah.
Bagaimana dengan hatimu?”
“Kubiarkan
juga. Biarpun aku udah tau isi hatimu, setidaknya kamu masih nanya kabar
hatiku. Tandanya kamu masih peduli sedikit dengan rasa yang kupunya. Ibumu
belum telepon?”
“Tadi
ada dua panggilan tak terjawab. Dari Ibu.”
“Tanda
harus pulang, kan?”
“Iya,
yuk.”
Dua cangkir kosong, tanda kopi habis terseruput. Dua cangkir kosong, berisi kisah dua manusia pemilik hati yang perih. Dua cangkir kosong, diseruput dua manusia yang cintanya tak bisa bunyi; bertepuk sebelah tangan.
Malam itu, membuat kita lebih banyak diam dari biasanya. Malam itu, membayangi pikiranku dengan pertanyaan “sampai kapan?”.
Comments