Skip to main content

Malam Minggu, dan Dua Cangkir Kopi Hangat yang Mendingin




Mungkin adalah aib, jika di Malam Minggu reremaja seperti aku ini hanya berdiam diri di rumah saja. Sebenarnya hanya sekedar malas ketika Ibu bertanya “Kamu nggak pergi sama pacarmu?”, mungkin pikiran Ibu masih kolot dan merasa sedang berada di jamannya; diapeli kekasihnya dan dibawakan martabak manis rasa cokelat susu, rutin setiap Malam Minggu. Ah, itu pasti pikir Ibu.


Karena menghindari pertanyaan Ibu yang seperti itu, mau tidak mau aku harus melepas rasa nyaman berada di atas kasur dan melepas headphone dari musik-musik Coldplay yang sedang terputar merdu dari iPod ber-case warna merahku ini. Yang mengesalkan lagi adalah, berpikir siapa yang harus kukencani, ah maksudku sekedar menemani minum kopi di sebuah Kafe, seperti itu.


Senja hilang, datang malam. Tanda sebentar lagi Ibu mengetuk pintu untuk mengajak makan malam bersama, dan tentu Ibu sudah menyiapkan pertanyaan yang-sangat-sangat-malas-untuk-kujawab. Dengan cepat aku meng-scroll phone number di contact smartphone-ku sambil berpikir siapa yang akan kutelepon. Ah, Dandy saja. Sahabat baikku sedari SMA, yang kebetulan sedang berada di Jakarta karena libur kuliah.


Setengah jam dari sehabis kutelepon, Dandy datang menjemputku. Kita pamit, Ibu hanya bilang hati-hati di jalan sambil tersenyum. Ibu pasti mengira Dandy adalah kekasihku. Ah biarlah.


Tiba di sebuah Kafe, aku memilih meja yang sedikit jauh dari ramai, di sudut ruang dekat jendela, dan disuguhi pemandangan lampu-lampu mobil yang lalu-lalang, pula musik pengiring dari klakson yang berebutan berbunyi seakan tak mau kalah karena macet di Jakarta yang tak lagi asing.


Dua cangkir kopi hangat, pengerat bincang dua manusia. Ya, aku dan Dandy. Bincangan kita tentang kesibukan dan kehidupan perkuliahan semakin membuat kita excited untuk terus bercerita. Sampai akhirnya membahas soal cinta.


“Kekasihmu sekarang siapa, Gin?”
“Masih sama seperti dulu. Cintaku masih berhenti dihatinya.”
“Siapa, Faudy? Dia sudah lama punya kekasih baru, Gin. Jelas kamu tahu kan itu?”
“Faudy bilang dia masih mencintaiku.”
“Dia tidak mencintaimu, Gina. Dia mempermainkanmu.”
“Aku tidak mencintaimu, Dandy. Dan kamu mempermainkan hatimu sendiri.”
“Aku mempermainkan hatiku sendiri?”
“Iya. Jelas kamu tahu aku tidak pernah mencintai kamu, dan tak bisa. Tetapi masih saja kamu dengan perasaan itu.”
“Kamu hanya kekasih gelapnya. Bukan pemilik hatinya yang sebenarnya. Sudahlah.”
“Kamu jangan banyak berharap tentangku. Hatiku mencintainya.”
“Begini deh. Coba posisikan kamu adalah kekasih Faudy yang sebenarnya, kemudian kamu tahu Faudy berselingkuh. Sakit, kan?”
“Kamu tahu isi hatiku, kan? Tidak ada kamu, kan? Kenapa masih mau bertahan dengan rasa yang sama, padahal kamu dengan jelas tahu perasaanku terhadapmu. Sakit, kan?”


Dandy terdiam. Ia menggenggam kuping cangkir dan menyeruputnya dengan pura-pura perlahan. Ada semburat wajah kesal sedikit terlihat. Kemudian disusul aku yang menyeruput air kopi yang mendingin sendiri, kubiarkan cangkirnya diam singgah di bibir, berharap menutupi wajah, padahal hanya di bagian sekitar hidung, bibir atas, dan setengah dari dua pipi.


“Sampai kapan kamu begini?” Dandy memecah hening.
“Entah. Bagaimana dengan hatimu?”
“Kubiarkan juga. Biarpun aku udah tau isi hatimu, setidaknya kamu masih nanya kabar hatiku. Tandanya kamu masih peduli sedikit dengan rasa yang kupunya. Ibumu belum telepon?”
“Tadi ada dua panggilan tak terjawab. Dari Ibu.”
“Tanda harus pulang, kan?”
“Iya, yuk.”


Dua cangkir kosong, tanda kopi habis terseruput. Dua cangkir kosong, berisi kisah dua manusia pemilik hati yang perih. Dua cangkir kosong, diseruput dua manusia yang cintanya tak bisa bunyi; bertepuk sebelah tangan.


Malam itu, membuat kita lebih banyak diam dari biasanya. Malam itu, membayangi pikiranku dengan pertanyaan “sampai kapan?”.

Malam itu, kopi hangat pertama kalinya membuat dua manusia saling diam. Ah, bukan kopi hangat maksudku. Kopi hangat yang mendingin dengan sendirinya, begitulah.

Comments

Popular posts from this blog

Alay vs Bopung .. waw (*new)

Awkey, selamat datang kembali di miss.idiot's blog. Udah lama yah gue gak nulis. kangen juga .. Pada kangen kan sama gue ? (pasti jawabannya 'enggak!') yaudah, lanjut deh ..... 'Alay? Bopung? apaan sih tu?, ada yang tau gak?' Yap . Anak muda jaman sekarang sungguh sangatlah kreatif dalam menciptakan sebuah istilah gaul. Yang pasti bukan gue yang menciptakan istilah tersebut, karena gue bukanlah anak gaul. Hoho. Sepertinya semuanya sudah tau. Terlihat dari tampang saya yang lugu ini. (Hak Cuih Pret!) Jadi, Kemaren gue iseng2 buka bulletin board di friendster, ternyata rame banget ya coy(maaf, saya terkena Budi Anduk Syndrome. haha) ada yg cuma nulis 'onlen onlen, komen dong' , 'i love u so much' , 'brengsek! bajingan' , etc, entah itu di tujukan untuk siapa. Tapi mata gue hanya tertuju pada satu bullbo(bulletin board) entah itu buatan siapa, yang pasti isinya lumayan menarik buat di analisis. Yap. Karena gue belum pernah denger kata2 atau

Aku, Dia, Cinta, dan Diam

Jadi begini rasanya mencintai diam-diam. Melihatnya dari kejauhan saja, senangnya luar biasa bukan main. Ya, aku mengaguminya bahkan sekaligus mencintainya sudah hampir 6 tahun, secara diam-dialm. Seharusnya cintaku bunyi, tak cuma diam. Sebab kami saling mengenal satu sama lain, dan bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger. Yudha Andhika, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Yudha dengan Leona -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku. Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Fils

Kalau Tak Cinta, Pasti Tak Akan Luka

“Kamu di mana?” Entah sudah berapa banyak text message dariku yang memenuhi layar handphone -nya tapi tak digubris juga. Pun entah berapa puluh banyak Missed Call dariku yang ikut menyemaraki. Randi sengaja menghindariku, atau memang ada sesuatu di luar kendali yang terjadi? Seingatku, tak ada masalah besar antara kita di hari-hari yang lalu.  Entah ada apa dengan dia hari ini, menghilang 24 jam tanpa ada kabar, tak seperti biasanya. Perasaanku tak enak. Sejenak pikiran itu membawaku melangkah mendekati tempat tinggalnya, di sebuah kost pria di daerah Jakarta Selatan. Kuketuk pintunya, padahal kutahu kalau isi kamarnya kosong, tapi tetap saja kuketuk pintunya. Berharap ada jawaban, tetapi tetap saja tak ada. Kemudian ada langkah mendekat yang kudengar dari belakangku. “Mbak, cari Mas Randi ya?” “Iya, Bu. Ada kepentingan.” “Mas Randi tadi pagi pergi. Katanya mau ke luar kota. Ke Solo kalau nggak salah. Ada urusan kerjaan katanya.” Ucap Ibu-ibu separuh baya yang sambil mengg