Skip to main content

Dunia yang Sempat Terlupakan

Aku masih saja berdiri di tempat yang sama, tubuh yang sama, dan bahkan rasa yang sama. Orang-orang berubah, kemudian rasa berubah, tetapi masih saja aku di sini dan tak pernah mau beranjak dari rasa yang kupikir paling manis, dan tentu saja begitu sayang untuk dilupakan.


Aku masih kuat bertahan. Sampai kapanpun. Meskipun sebagian dari mereka bilang bahwa itu hanya sekadar pemaksaan hati yang masih saja ingin memiliki. Kemudian mereka menyuruhku melupakan rasa, membuang asa, dan segala tentangmu. Kenapa mereka begitu bodoh? Jelas, begitu susah menyusun kisah, mereka bilang lupakan saja?


Aku begitu yakin, masih ada sisih sisa rasa bersemayam di hatimu. Meskipun hanya benar-benar sedikit, setidaknya masih ada. Bagaimana benar-benar bisa hilang, ribuan hari bersama menjalin kisah, bisa lenyap hanya karena tiga kata yang diucapkan sepersekian detik? Mustahil.


Dengan bekal pola pikir yang seperti itu, aku tak lelah mengejar lagi rasa yang sempat tertinggal, berharap mampu mengubah rasa cinta yang kamu punya terhadap gadis barumu itu, agar bisa sepenuhnya hanya aku yang ada di sana, di hatimu. Aku mencarimu, aku meminta kesempatan kedua, aku mengirimi puluhan puisi tentang kisah kita, aku menyanyikanmu beberapa lagu favorit kita, aku membuatkanmu puluhan gambar sketsa wajahmu, apapun, sekedar membuat ada aku lagi di singgasana hatimu.


Beruntungnya aku, kamu tak pernah sekalipun menolak segala usahaku. Biar hanya bilang ‘terima kasih’, aku rasa kamu masih memberi kesempatan. Karena kamu sama sekali tidak menyuruhku berhenti. Aku sungguh tak peduli dengan perasaan yang dipunyai gadismu.


Satu bulan kemudian, aku sama sekali tak mendengar kabar lagi tentangmu. Beberapa kerabatmu mengabari kalau kamu pindah ke kota yang bahkan jauh dari tempatmu tinggal, dulu. Nomor teleponmu tak dapat lagi dihubungi, susah sekali menghubungimu. Ini pertanda, aku harus sabar menunggu, lagi dan lagi.


Aku sabar menunggu, dengan menutup telinga dan hati. Membiarkanmu berputaran di lipatan keriting otakku yang tak beraturan ini. Kurang baik apa lagi ini aku terhadapmu?


Satu tahun kemudian, kamu memberiku kabar. Mengajakku bertemu di Taman Kota sore ini. Di kursi besi di depan danau buatan, tempat kita pertama kali bertemu. Ini bagian terhebat dalam penantianku, ini keajaiban! aku tak sabar menunggu sore, tepatnya ingin bertemu denganmu.


5 p.m, Taman Kota.
“Kamu, apa kabar?”, tanyamu begitu kaku.
“Aku? Baik, terlebih hari ini.” Jawabku, sambil tersenyum.


Beberapa menit terdiam, akhirnya kamu memecah hening dengan bertanya,
“Bagaimana kabar hatimu? Masih sama seperti dulu?”, Dion sambil menatap langit.
“Ummm, iya. Kamu masih di sana”. Aku menunduk malu.
“Berapa banyak waktu yang kamu buang hanya untuk aku yang tak lagi peduli terhadapmu, yang tak lagi memikirkanmu, yang tak lagi menyayangimu? Sekarang, adalah waktu yang tepat untuk kamu merubah duniamu. Banyak dunia yang kamu lupakan. Hobimu, teman-temanmu, dan bahkan kamu membiarkan hatimu sakit seperti itu. Jangan bilang aku kejam, karena kamu selamanya hanya akan membenciku dan semakin sulit melangkah. Berpikirlah, masih banyak yang menantimu”, ucapmu sambil memegang bahuku.


Aku bahkan tak merasa sedih, malah ada perasaan lega setelah kamu bicara seperti itu. Ternyata yang aku tunggui selama ini adalah, perkataanmu untuk menyuruhku berhenti. Perasaanku terhadapmu ternyata hanya sekedar ambisi, bahkan rasanya telah mati. Seperti yang kamu bilang, aku harus mampu membuat dunia baru, dari dunia yang sempat terlupa.

“Mulai nyalakan kembali
Dunia yang terlupa
Cukup sudah bermimpi”
(Dunia yang Terlupa - Peterpan)

Comments

tetap semangat dan terus bertekat :)

Popular posts from this blog

Alay vs Bopung .. waw (*new)

Awkey, selamat datang kembali di miss.idiot's blog. Udah lama yah gue gak nulis. kangen juga .. Pada kangen kan sama gue ? (pasti jawabannya 'enggak!') yaudah, lanjut deh ..... 'Alay? Bopung? apaan sih tu?, ada yang tau gak?' Yap . Anak muda jaman sekarang sungguh sangatlah kreatif dalam menciptakan sebuah istilah gaul. Yang pasti bukan gue yang menciptakan istilah tersebut, karena gue bukanlah anak gaul. Hoho. Sepertinya semuanya sudah tau. Terlihat dari tampang saya yang lugu ini. (Hak Cuih Pret!) Jadi, Kemaren gue iseng2 buka bulletin board di friendster, ternyata rame banget ya coy(maaf, saya terkena Budi Anduk Syndrome. haha) ada yg cuma nulis 'onlen onlen, komen dong' , 'i love u so much' , 'brengsek! bajingan' , etc, entah itu di tujukan untuk siapa. Tapi mata gue hanya tertuju pada satu bullbo(bulletin board) entah itu buatan siapa, yang pasti isinya lumayan menarik buat di analisis. Yap. Karena gue belum pernah denger kata2 atau

Aku, Dia, Cinta, dan Diam

Jadi begini rasanya mencintai diam-diam. Melihatnya dari kejauhan saja, senangnya luar biasa bukan main. Ya, aku mengaguminya bahkan sekaligus mencintainya sudah hampir 6 tahun, secara diam-dialm. Seharusnya cintaku bunyi, tak cuma diam. Sebab kami saling mengenal satu sama lain, dan bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger. Yudha Andhika, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Yudha dengan Leona -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku. Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Fils

Kalau Tak Cinta, Pasti Tak Akan Luka

“Kamu di mana?” Entah sudah berapa banyak text message dariku yang memenuhi layar handphone -nya tapi tak digubris juga. Pun entah berapa puluh banyak Missed Call dariku yang ikut menyemaraki. Randi sengaja menghindariku, atau memang ada sesuatu di luar kendali yang terjadi? Seingatku, tak ada masalah besar antara kita di hari-hari yang lalu.  Entah ada apa dengan dia hari ini, menghilang 24 jam tanpa ada kabar, tak seperti biasanya. Perasaanku tak enak. Sejenak pikiran itu membawaku melangkah mendekati tempat tinggalnya, di sebuah kost pria di daerah Jakarta Selatan. Kuketuk pintunya, padahal kutahu kalau isi kamarnya kosong, tapi tetap saja kuketuk pintunya. Berharap ada jawaban, tetapi tetap saja tak ada. Kemudian ada langkah mendekat yang kudengar dari belakangku. “Mbak, cari Mas Randi ya?” “Iya, Bu. Ada kepentingan.” “Mas Randi tadi pagi pergi. Katanya mau ke luar kota. Ke Solo kalau nggak salah. Ada urusan kerjaan katanya.” Ucap Ibu-ibu separuh baya yang sambil mengg