Skip to main content

Masih Ada Jatah Jatuh Cinta

“Tuhan sedang menghukumku, hukuman yang aku tolak sebelumnya, yang karena aku pernah rasa sebelumnya, yang aku tahu konsekuensinya, dan yang pernah aku tahu bagaimananya. Ya, jatuh cinta. Tapi kali ini aku tunduk dengan penghukuman yang Ia beri. Tak lagi mengelak seperti sebelumnya. Tuhan Maha Pemberi Rasa. Maha Segalanya”




Aku, seorang mahasiswi semester 7 dari perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang begitu mudah mengagumi orang-orang yang menurutku pantas untuk dikagumi karena kehebatannya, yang cuma sekedar kagum dan tak pernah beranggapan bahwa jatuh cinta itu ada. Aku begitu mudah bergumam kagum kepada siapa saja yang pandai meracik kata menjadi sajian bacaan yang penuh bumbu, pria yang pandai bermain alat musik, pria yang pandai bercerita, mereka yang menghargai hidupnya, aku memang pandai dalam kagum-mengagumi. Ya, itu aku.




Aku cuma percaya mengagumi, dan suka terhadap sesuatu, bukan untuk mencintai. Mungkin benar yang mereka bilang, aku sedang menutup pintu hati, tak mau luka lagi. Makanya tak percaya jatuh cinta itu ada (lagi). Aku malah tak beranggapan seperti itu. Aku hanya mau merubah beberapa jalan cerita yang awalnya terbiasa dengan kekasih –sekarang tidak- menjadi wanita yang tidak bergantung pada siapa pun. Maksudku, setidaknya mengurangi dalam hal merepotkan orang lain.




Aku pernah dijatuhkan, tak diacuhkan, tak didengar, tak digubris, dan yang terlebih menyesakkan, yakni ditinggalkan. Tapi Tuhan Maha Baik, Ia ganti semuanya dengan puluhan sahabat baik yang bisa menemaniku kapan saja, dan di mana saja ketika aku butuhkan. Setahun setelah tanpanya, sama sekali aku tak merasa kesepian. Aku mendapati teori baru; jika punya kekasih, hanya boleh satu. Tandanya hanya punya satu bahu untuk bersandar, itupun ketika kita menangis, bahunya tak selalu siap siaga ada. Tapi ketika punya banyak teman? Banyak yang menyuguhkan bahu tanpa diminta, kan? Lebih pilih mana?




Aku tak mau jatuh cinta, sebab aku tahu konsekuensinya. Aku tak mau berkomitmen dalam menjalin hubungan, sebab aku tahu akan ada banyak ingkar. Aku tak mau… sebentar! Aku lupa kalau aku ini sedang jatuh cinta. Sedang menyayangi seorang kaum adam yang bahkan tak aku kira sebelumnya. Ya, dia pacarku. Aku bahkan sedang berpikir, bagaimana bisa aku mematahkan teori keren yang kubuat dulu?




Awalnya aku dikerubungi ragu, ini cuma sekedar permainan rasa, bukan jatuh cinta. Sulit memang, membangun kepercayaan tak semudah membangun kastil kerajaan, iya. Maksudku dari pasir putih di pantai. Jadi kubiarkan saja.




Dampak dari 'kubiarkan saja' ternyata jadi semakin banyak. Ada passion dari conversation yang kita buat. Banyak cerita yang tak membosankan, sama sekali tak membuat jemu. Cuma beberapa hari tak bertemu, rindu menjadi candu. Ah, aku jatuh cinta.




Tunggu dulu, aku jatuh cinta? Yang benar saja. Tapi mungkin, jatuh cinta merupakan hukuman Tuhan kepada mahluk-Nya yang tak percaya cinta. Iya, aku.




Tuhan sedang menghukumku, hukuman yang aku tolak sebelumnya, yang karena aku pernah rasa sebelumnya, yang aku tahu konsekuensinya, dan yang pernah aku tahu bagaimananya. Ya, jatuh cinta. Tapi kali ini aku tunduk dengan penghukuman yang Ia beri. Tak lagi mengelak seperti sebelumnya. Tuhan Maha Pemberi Rasa. Maha Segalanya.




Hukuman-Mu aku terima, Tuhan. Dengan konsekuensi yang sudah aku ketahui, dengan segala harap kebahagiaan, dengan perizinan menyayangi sesama umat manusia, dengan senang hati, aku terima.




Ternyata masih ada jatah jatuh cinta untukku. Iya, kepada kamu, sayang.

Comments

@nxnc said…
selalu suka tulisannya, ka anggi :D ditunggu tulisan selanjutnya :*
Sonia Anggi Y said…
waaaah, makasih ya! :* oke, karena kamu, aku bakalan rajin nulis deh. :*

Popular posts from this blog

Alay vs Bopung .. waw (*new)

Awkey, selamat datang kembali di miss.idiot's blog. Udah lama yah gue gak nulis. kangen juga .. Pada kangen kan sama gue ? (pasti jawabannya 'enggak!') yaudah, lanjut deh ..... 'Alay? Bopung? apaan sih tu?, ada yang tau gak?' Yap . Anak muda jaman sekarang sungguh sangatlah kreatif dalam menciptakan sebuah istilah gaul. Yang pasti bukan gue yang menciptakan istilah tersebut, karena gue bukanlah anak gaul. Hoho. Sepertinya semuanya sudah tau. Terlihat dari tampang saya yang lugu ini. (Hak Cuih Pret!) Jadi, Kemaren gue iseng2 buka bulletin board di friendster, ternyata rame banget ya coy(maaf, saya terkena Budi Anduk Syndrome. haha) ada yg cuma nulis 'onlen onlen, komen dong' , 'i love u so much' , 'brengsek! bajingan' , etc, entah itu di tujukan untuk siapa. Tapi mata gue hanya tertuju pada satu bullbo(bulletin board) entah itu buatan siapa, yang pasti isinya lumayan menarik buat di analisis. Yap. Karena gue belum pernah denger kata2 atau

Aku, Dia, Cinta, dan Diam

Jadi begini rasanya mencintai diam-diam. Melihatnya dari kejauhan saja, senangnya luar biasa bukan main. Ya, aku mengaguminya bahkan sekaligus mencintainya sudah hampir 6 tahun, secara diam-dialm. Seharusnya cintaku bunyi, tak cuma diam. Sebab kami saling mengenal satu sama lain, dan bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger. Yudha Andhika, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Yudha dengan Leona -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku. Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Fils

Kalau Tak Cinta, Pasti Tak Akan Luka

“Kamu di mana?” Entah sudah berapa banyak text message dariku yang memenuhi layar handphone -nya tapi tak digubris juga. Pun entah berapa puluh banyak Missed Call dariku yang ikut menyemaraki. Randi sengaja menghindariku, atau memang ada sesuatu di luar kendali yang terjadi? Seingatku, tak ada masalah besar antara kita di hari-hari yang lalu.  Entah ada apa dengan dia hari ini, menghilang 24 jam tanpa ada kabar, tak seperti biasanya. Perasaanku tak enak. Sejenak pikiran itu membawaku melangkah mendekati tempat tinggalnya, di sebuah kost pria di daerah Jakarta Selatan. Kuketuk pintunya, padahal kutahu kalau isi kamarnya kosong, tapi tetap saja kuketuk pintunya. Berharap ada jawaban, tetapi tetap saja tak ada. Kemudian ada langkah mendekat yang kudengar dari belakangku. “Mbak, cari Mas Randi ya?” “Iya, Bu. Ada kepentingan.” “Mas Randi tadi pagi pergi. Katanya mau ke luar kota. Ke Solo kalau nggak salah. Ada urusan kerjaan katanya.” Ucap Ibu-ibu separuh baya yang sambil mengg