Malam itu, kita membuat konversasi yang sedikit tanggung di hadapan secangkir kopi, tengah malam. Kamu yang penuh dengan candaan, dan aku yang kadang menyeriuskan cecandaan buatanmu itu, sampai larut ke koversasi yang pelik, tentang hati.
Kamu : “kopinya tinggal satu cangkir nih.”Aku : “ya terus?”Kamu : “aku kopinya, kamu cangkirnya. Haha”Aku : “kamu kopi, dan aku cangkirnya? Kamu tahu, kopi dan cangkir memang bisa satu, tapi mereka tak akan pernah bisa saling bercumbu?”Kamu : “kok begitu?”Aku : “air kopi, selalu tak pernah dibiarkan sampai penuh, tak pernah dibiarkan sampai menyentuh bibir cangkir.”Kamu : “kalau ada yang meminumnya, kita kan bisa bercumbu. Aku jadi bisa menyentuh bibirmu.”Aku : “haha! Kita bisa saling bercumbu tapi melalui perantara, maksudmu? Bibir kita dihisapi yang lain, begitukah?”Kamu : “berarti kita bukan cangkir dan kopi. Kita hanya penikmatnya saja.”Aku : “siapa tahu. Mungkin nanti ketika kita berpisah, ketika ada orang ketiga di antara kita. aku dan kamu akan jadi cangkir dan kopi. Aku cuma sebatas cangkir yang sendirian, dan kamu yang merupakan kopi yang habis diseruput orang ketiga.”Kamu : “mengharapkan?”Aku : “tidak, untuk saat ini tidak. Mungkin nanti.”Kamu : “I love you.”Aku : “I love you.”
Waktu sudah mencapai pagi, dan mata merengek minta diistirahatkan barang sejenak. Banyak aktivitas kita pagi sampai malam nanti, selain saling jatuh cinta. Mari pulang dan saling merengkuh mimpi.
Comments