“Kamu
di mana?”
Entah sudah berapa banyak text message dariku yang memenuhi layar handphone-nya tapi tak digubris juga.
Pun entah berapa puluh banyak Missed Call
dariku yang ikut menyemaraki. Randi sengaja menghindariku, atau memang ada
sesuatu di luar kendali yang terjadi? Seingatku, tak ada masalah besar antara
kita di hari-hari yang lalu. Entah ada apa dengan dia hari ini,
menghilang 24 jam tanpa ada kabar, tak seperti biasanya.
Perasaanku tak enak. Sejenak pikiran itu
membawaku melangkah mendekati tempat tinggalnya, di sebuah kost pria di daerah
Jakarta Selatan. Kuketuk pintunya, padahal kutahu kalau isi kamarnya kosong,
tapi tetap saja kuketuk pintunya. Berharap ada jawaban, tetapi tetap saja tak
ada. Kemudian ada langkah mendekat yang kudengar dari belakangku.
“Mbak,
cari Mas Randi ya?”
“Iya,
Bu. Ada kepentingan.”
“Mas
Randi tadi pagi pergi. Katanya mau ke luar kota. Ke Solo kalau nggak salah. Ada
urusan kerjaan katanya.” Ucap Ibu-ibu separuh baya yang sambil menggenggam sapu
lidi ini, ramah.
“Ada
yang bisa dibantu, Mbak Tara?” lanjutnya lagi.
“Bukuku
ketinggalan di dalam. Tugas kampusku, harus dikumpul besok. Mau kuambil
sebentar, dia titip kunci?”, Ucapku. Mengambil buku ialah tujuan kedua setelah
mencari tahu kabar tentangnya.
Aku agak lupa dengan nama ibu pemilik
kost ini. Ibu Rani, atau Ibu Rini, atau bahkan Ibu Rina. Setahuku, ibu pemilik
kost ini baiknya bahkan luar biasa, pun ramah. Randi sering sekali cerita
tentang ibu baik hati ini, dia bilang, selama tinggal di sini, sudah berasa ibu
kandung sendiri. Memang sangat terlihat ramah, kalem, dan kurasa, tak ada
seorangpun yang tega melukai perempuan paruh baya yang baiknya seperti ini. Ibu
baik hati ini memberikan kunci dengan catatan jika sudah selesai, segera
dikembalikan kuncinya.
Seperti pemandangan sebelum-sebelumnya,
Randi selalu meninggalkan kamar dalam keadaan seperti bangkai pesawat;
berantakan. Gerah melihatnya, tangan begitu gatal ingin membenahinya, mulut
sampai bergumam ingin mengomelinya kalau dia sedang berada di sini. Huh!
Pakaian-pakaian, bungkus ciki, bantal, bakhan sampai laptop pun dibiarkan
tergeletak di lantai kamar. Duh, lelaki.
Tidak seperti biasanya, laptop dibiarkan
menyala padahal dia pergi untuk beberapa hari. Ah, mungkin saking
terburu-burunya agar tak terlambat. Tampilan form chatting memenuhi layarnya, tak lain tak bukan isinya adalah
konversasi antara aku dan dia semalam. Kemudian terdengan notifikasi sign out dari form chatting dari seseorang yang kukenal namanya.
Vina has signed out~
Ku-minimize jendela chatting antara aku dan Randi, dan terlihat jelas, pun penuh, isi
konverasi antara Vina dan Randi.
Vina left the chat.Vina: Ada apa?Randi: Aku kangen kamu. Haha, kamu apa kabar?Vina: Baik. Apa, kangen? Samperin sini kalau berani.Randi: Kamu lagi di mana sekarang?Vina: Masih di tempatku yang dulu. Kenapa?Randi: Aku kangen kamu. Aku kangen kita. Kamu sekarang sama siapa?Vina: Apa sih. Aku sekarang lagi sendiri aja. Lagi bosen pacaran. Maunya diseriusin. Halah.Randi: Kalau aku seriusin, kamu mau?Vina: Buktiin.Randi: Aku ke sana, besok pagi. Tunggu aja. Nanti aku ke tempat Santo.Vina: Serius? Aku nggak suka cowok yang suka bercanda.Randi: Lihat besok, jam 8 pagi.
Setelah membacanya, aku tak menangis.
Logika menguatkan, logika bilang harus mengikhlaskan. Tetapi entah dengan hati.
Aku tak menangis, tak ada air mata yang jatuh. Cuma kurasa sesak yang
menjadi-jadi.
Saat itu, aku harus sesegera mungkin menelepon Santo untuk
tahu alamat rumahnya, tapi setelah kupikir-pikir, Santo tak akan mau memberi
tahu, sebab ada Randi yang sedang di sana. Kuputar akal, akhirnya
kudapatkan caranya.
“Halo,
Santo? Aku minta alamat rumahmu dong.” Ucapku, seolah tak tahu apa-apa sembari
menahan sesak.
“Untuk
apa?” Terdengar nada khawatir Santo bahwa aku tahu semua.
“Gambar
pesananmu minggu lalu udah selesai nih. Aku bilang sih cukup keren. Tinggal ku-print, kubingkai, dan kuhias-hias
sedikit. Nanti sore aku kirimin ya.” Ucapku dengan berpura-pura gembira.
“Eh,
serius? Bukannya kamu bilang minggu depan?”
“Minggu
depan aku banyak tugas kantor. Takutnya malah nggak sempet, jadi kukelarin
pesenan kamu duluan deh. Lagian aku butuh uang. Bwek! Kan kalau udah selesai,
tinggal tunggu kamu transfer. Hahaha”. Tambahku, lagi-lagi bermain drama.
“Hahahaha,
dasar kamu, Tar! Oke, aku sms-in alamatnya ya!”. Santo akhirnya tak curiga.
“Oke.”
Tuuut..
tut.. tut..
Tak lama kemudian, Santo mengirimi alamat
rumahnya, lengkap. Entah apa yang ada di pikiran, kaki begitu tegas melangkah
ke arah Stasiun Kota. Biarpun sudah ditemani pak supir taksi menuju ke stasiun,
hati masih saja tak bisa tenang.
Sebelas jam kemudian, aku sampai di Solo,
tepat di depan rumah Santo. Randi melihatku heran, dengan muka penuh
kebingungan. Randi menghampiriku, bingung dengan tatapanku yang penuh nanar.
“Aku
tahu semua.”
“Semua
apa?”
“Silahkan
kalau kamu mau pergi. Tapi kenapa kamu nggak bilang-bilang dulu kalau mau
pergi? Ingat kan pesanku dulu? Kalau mau pergi, bilang. Supaya aku bisa
siap-siap ngerelain kamu pergi.” Pikiranku kacau, tetapi sekuat mungkin aku
menahan agar air mata tak jatuh barang setetes.
Randi
cuma diam.
“Hahaha.
Nggak, aku nggak bakalan nangis kok. Itu cuma luapan emosi sesaat. Aku cuma
ngambek sebentar. Setelah ini juga aku udah lupa rasanya apa.” Kurasa dia tahu
kebiasaanku, kalau marah, cuma bisa sebentar. Kalau menangis, paling lama 5
menit, kemudian dengan mudah rasanya dilupakan. Ketika hati sendu, logika harus
mampu menguatkan, prinsipku.
“Kamu…
nggak apa-apa?” Wajah Randi terlihat mengasihani aku. Seperti tak tega dengan
aku yang setengah waras berpura-pura tak kenapa-kenapa.
“I’m alright. Even if inside bleeding, but
you never couldn’t see it. But one thing you should know, kalau nggak
cinta, pasti nggak akan luka.”
Entah kenapa kaki yang semula gontai
meninggalkan, malah berlari tanpa peduli ke arah mana. Cuma terpikir mencari
tempat yang aman untuk meledakkan tangis. Di sepanjang perjalanan pulang, aku
menangis sendirian, di kereta, tanpa sesiapapun mencoba menenangkan.
Kalau tak cinta, tak akan luka. Kalimat
tersebut membayangi pikiranku seharian ini. Seakan malas untuk hidup, semakin
gontai untuk melangkah, seperti tak punya hal lain yang lebih penting. Hatiku
luka lagi, sampai tak asing rasanya. Hatiku perih lagi, sampai menangis pun tak
berairmata.
Just give me a reason, just a little
bit’s enough,
Just a second we’re not broken just bent,
And we can learn to love again.
Nada dering handphone dari lagu tersebut menandakan ada panggilan masuk. Karena
sesuai dengan keadaanku sekarang, jadi kuanggap lagu tersebut ialah soundtrack dari suasana hatiku saat ini,
tak pedulikan entah siapa itu yang menelepon.
Sampai
berdering empat kali, akhirnya aku menyadari bahwa itu ialah telepon masuk.
Astaga, dari bosku! Berdering sekali lagi, langsung kuangkat. Dengan gugup,
kurasa bos marah karena kemarin aku bolos kerja tanpa meminta izin.
“Kemana
kamu kemarin? Deadline proyek sudah berapa persen?” Ucap si Bos agak marah.
“Maaf,
Pak. Masih 40 persen.” Gumamku, pelan. Takut si Bos semakin marah.
“Kayaknya
susah kalau kamu kerjain sendirian. Saya pindahin kamu ke proyek lain ya. Yang
kerjanya tim. Satu tim tiga orang. Besok saya kasih tahu timnya, dan langsung
kerjakan.”
“Baik,
Pak. Jadi saya ke kantor besok aja kan? Oke deh Pak. hehe” Aku menambahkan
sedikit canda, si Bos aslinya sangat ramah dan baik, cuma bersembunyi dibalik
wajahnya yang begitu tegas, jadi sedikit terlihat seram.
Aku lupa rasanya kemarin. Yang kupikirkan
sekarang adalah bagaimana caranya menghidupi hidupku, menikmati nikmat yang
sempat kulupakan kemarin. Beruntungnya aku, aku mendapati kerjaan yang cukup
sesuai dengan passion-ku. Business Analyst dan Web Designer, pun Freelance Designer. Aku menikmatinya, dan masih mau menikmatinya.
Entah, hari ini berasa memulai hari baru dengan hati baru.
“Tara,
ini partner-mu. Deon sama Witra. Deon
sebagai Web Programmer, dan Witra
sebagai Web Designer. Ini berkas
proyek yang harus kalian buat. Deadline
3 minggu setelah hari ini. Selamat bekerja!” Ucap Bos mengagetkan, membuyarkan
lamunanku tadi.
Sebentar. Deon? Seseorang yang pernah
sangat kukenal dulu, kan? Sekarang jadi partner
kerjaku? Ujian cinta macam apa lagi ini, Tuhan?
“Tar,
astaga. Aku nggak nyangka bisa satu tim sama kamu. Hahahaha. Yaudah yuk. Mulai
kerjain. Kamu identifikasi dulu masalahnya kayak apa.”
Deon selalu tanpa basa-basi. Huh! Selalu
penuh serius. Tetapi malah bagus, aku jadi tak malas bekerja, jadi bisa merasa
lebih mempunyai tanggung jawab yang besar akan proyek baru ini.
Ketika jam kantor selesai, Deon
menawariku tumpangan sampai ke rumah, dan mengajak makan malam. Aku tahu, ini
maksudnya sebagai rekan kerja baru, tanpa ada maksud apa-apa. Aku masih
mengenali sifatnya yang seperti ini. Setibanya di tempat makan, perbincangan
kami tak jauh dari pekerjaan. Ya, Deon memang tipe pekerja keras.
“Kuharap
kita bisa kerja sama dengan baik ya. Bahan-bahan untuk besok udah disiapin?”
Ucap Deon dengan seriusnya.
“Siap,
Pak. Laksanakan.”
“Kamu
terlalu serius, kaku. Nggak usah panggil aku Pak dong.”
“Lah,
bukannya kamu yang terlalu serius? Di mana-mana ngomonginnya soal kerjaan.
Hahaha. You need some jokes.”
“I remember.. I made you to be the not so
serious girl, isn’t it? Tapi sekarang kamu nawarin aku some jokes? Hahaha. Okay, I
give you a chance. Give me one.” Deon mulai membuka obrolan di luar topik
pekerjaan, syukurlah.
“Itu
kan dulu, kamu yang gila, aku yang serius. Sekarang kan beda, kamu harus cobain
jadi gila lagi. Ready?”
“Oke!
Siapa takut!”
Aku minta Deon mengantarkan ke stasiun tv
swasta. Seingatku hari ini ada acara yang sebagian anak muda tunggu-tunggu.
Biarpun Deon masih bertanya-tanya, selalu kubilang lihat nanti.
“Kita
mau nonton acara musik yang band-band
nyanyinya kemayu-kemayu itu? Kamu gilanya berlebihan. Hahaha.”
“Bukan,
duduk aja dulu, Deon. Sebentar lagi acaranya dimulai.” Aku meyakinkan Deon
bahwa perkiraannya akan salah besar, dan dia akan begitu menikmati acara ini.
“Oh,
Stand Up Comedy.. Aku pernah nonton
sekali, dulu di televisi. Menurutku garing ah.” Statement-nya membuatku merasa gagal membawa ke sini. Huh!
Terdengar suara host mulai membuka acara, kemudian mempersilahkan Comic –comedian microphone yang tampil-
untuk mengajak penonton tertawa dengan ceritanya yang diolah sedemikian rupa
agar mampu mengocok perut.
“Awas
kalau kamu ketawa..” bisikku pelan ke arah Deon.
“Kalau
aku ketawa, aku cium kening Witra” Deon membalas bisikku. Janjinya menggiurkan,
sejenak aku membayangkan. Hahaha!
Beberapa lama kemudian…
“Hahahahaha.
Itu sumpah, kok ada orang sebodoh itu. Ups. Aku nggak ketawa kok. Aku cuma
ngatain. hehehehe”. Deon ketakutan.
Tak
kupedulikan. Kutunggu sampai acara selesai, sampai separuhnya sepi, kemudian
bergegas pulang. Baru kemudian, kutanyakan ulang janjinya.
“Masih
mau cium Witra?” Aku meledek.
“I’m not gay. Aaaaak. Nggak mau.” Deon
terlihat jiji dengan ucapannya sendiri.
“Hmmm..”
“May you close your eyes for a minute?”
“Kenapa,
De?” Aku bingung. Entah apa yang akan dilakukan Deon.
“Tutup
mata aja dulu. Terus bayangin yang terjadi di 4 tahun lalu.”
“Baiklah.”
Serasa ada bibir menyentuh keningku.
Mungkin cuma bayanganku tentang dulu saja. Ah, mana mungkin Deon seberani itu.
Kemudian ucapan Deon memecah hening.
“Yeap.
I paid my debt. Hahahaha. Udah lunas
ya!” Deon tertawa sambil berlari ke arah parkiran.
“Deooooon!
Kan harusnya cium kening Witraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Malam yang melelahkan, menyenangkan, pun
mengagetkan. Entah rencana Tuhan macam apa lagi ini, yang pasti, aku merasa
beruntung hari ini. Semoga sampai besok, besok, dan bahkan sampai nanti.
Tiba
di hari berikutnya, setiap malam sepulang kerja, kita menyempatkan berbincang
mengenai topik lain di luar pekerjaan. Selalu, Deon yang memulai topik baru
tersebut.
“Kita
dulu pisah karena apa ya?”
“Jangan
dibahas. Aku malu. Hahaha. Maklum lah, dulu pikiranku masih duduk di kelasan
anak ABG yang masih labil.” Aku tersenyum sambil tersipu malu.
“Aku
pura-pura nggak tahu aja. Hahaha, but
now, you looked more mature, nggak pernah cemberut kayak dulu.”
“Kamu
juga, dulu nggak pedulian. Sekarang peduli banget sama orang-orang di
lingkungan sekitar.”
“We’re growing up, we change own our life.
Kita udah gede ya sekarang. Harus serius.”
“Yeeee.
Kalau serius, nggak bisa nikmatin hidup.
Live your passion!”
“Ciyeeeee,
Tara udah gede.” Deon meledek, tetapi kok malah terlihat makin lucu ya.
“Ikut
aku!” Aku menarik tangan Deon dan mengajaknya ke toko mainan anak kecil. Yap,
aku mencari kartu UNO. Senjata mengeratkan kebersamaan, dengan candu tawa di
dalamnya.
Empat jam menghabiskan tenaga dengan
tertawa yang meledak-ledak, bincangan yang terkadang menyelipkan masa lalu, dan
kopi hangat yang mencairkan dingin malam itu. Ada cinta yang belum selesai di
antara kita. Tuhan, aku menginginkan lebih dari sekedar ini.
Sesampainya di depan rumah, Deon
memelukku, erat. Awalnya degupan jantungku tak beraturan; berantakan. Tetapi
kemudian, aku bisa merasakan betapa tenangnya dan betapa hangatnya dipeluk dia.
Deon merapikan poniku, kemudian mencium keningku. Entah rasanya begitu tak
karuan, senang bukan main.
“Seminggu
ketemu kamu, ngasih pelajaran buatku. Makasih ya.” Ucap Deon, membingungkanku.
“Kenapa?
Bukannya itu gunanya teman? Saling membantu.” Ucapku. “Apa? Teman? Bukannya aku
mengharapkan lebih dari itu?” Gumamku dalam hati.
“Ah
iya, teman, ya. Iya, aku berubah, semakin bisa mengerti, dan tak egois soal
pekerjaanku lagi, calon istriku suka dengan perubahanku ini. Aku sangat
berterimakasih padamu ya, Tara.” Ucapnya seolah tak berdosa, seolah tak tahu
isi hatiku, sembari tersenyum, dan kemudian beralu setelah mendengar balasanku
yang cuma “ah, iya, sama-sama”.
Hatiku.
Patah. Lagi.
Untungnya hari ini Hari Minggu. Aku bisa
reinkarnasi hati selama seharian penuh. Membuang-buang waktu dengan hal yang
tidak perlu, karaoke sendirian seperti orang tak waras, dan malamnya,
menghabiskan waktu sembari melumati eskrim di pinggir pantai yang agak kumuh di
daerah Jakarta Utara.
“Belepotan
tuh, berantakan sampai ke hidung.” Suara lelaki yang begitu kukenal memecah
lamunanku.
“Eh,
kamu. Pasti lagi ada yang di pikirin juga ya, makanya ke sini. Kenapa?”
“Iya,
gitu deh. Kerjaanmu gimana? How’s about
your love life?” Randi bertanya tetapi pertanyaannya seperti menohok sampai
ke ulu hati. Sebenarnya sangat malas membahas tentang hal ini lagi.
“Aku?
Kalau baik-baik aja, aku nggak bakal ke sini sendirian. And so do you. Hmmm. Love life? Kemarin-kemarin aku ketemu mantanku yang sebelum kamu di
tempat kerja. I wish he would be mine,
tapi kenyataannya nggak gitu. Dia cuma mengganggapku nggak lebih dari teman.
Dia udah bertunangan. Gimana sama kamu?” Ucapku, santai. Tanpa luka, bahkan
lupa rasanya luka.
“I left her. Rasanya beda ternyata, nggak
sama kayak dulu sama-sama. Banyak yang berubah, perasaanku udah nggak di dia
lagi.”
“I guessed, she left you, not you.
Kelihatan kok, dia cuma nguji seberapa pengorbanan kamu buat dia, padahal
kutahu dia udah punya pacar, kan?” Aku begitu sok tahu.
“Kamu
terlalu sok tahu, huh, selalu. Aku tahu dia udah punya pacar dari dulu, tapi
karena akunya yang nekat, yang penuh ambisi. Dia sempurna, yang kumau ada di
dia semua. Tapi ternyata aku salah, dia nggak sesempurna itu, aku nggak dapetin
kenyamanan pas di deket dia. Yeee, dia yang balik ngejar aku sekarang, bwek!
Setelah tahu kerjaan baruku. Haha!” Ucap Randi terlalu pede.
“Ah,
tetep aja, hati kamu masih ada di dia.”
“Iya,
sih. Masih ada dianya. Kadang masih menggantung di pikiran.”
“Kita
ini bodoh ya. Udah lebih dari setahun sama-sama, tapi ternyata hatinya malah ke
mana-mana.” Gumamku sembari menyemberutkan bibir.
“Iya,
hati kita ke mana-mana. Yang di sana ada, kamu juga masih ada di sini.” Randi
mulai menggombal sembari menunjukkan jarinya ke arah dada.
“Kamu
masih di sini.” Randi meyakinkan lagi.
“Kamu
juga, seluka apapun sebelumnya, tetapi masih ada kamu, di sini.” Ucapku, mau
tak mau mengaku awalnya, tapi tak bisa, ah, hati, kamu selalu terlalu jujur.
“Gimana
kalau kita ulang semuanya dari awal?” Randi semakin membingungkanku.
“Maksudmu?
Ah, iya. Aku paham! Ayok! Dalam hitungan ketiga, mulai!”
“Hei,
aku Randi.” Randi mengajakku berkenalan seolah baru pertama kali bertemu.
“Aku,
Tara.” Balasku. Tawa meledak-meledak setelah perkenalan kedua yang bodoh ini.
Malam ini, semua begitu terasa aneh, pun membuat benak berpikiran ‘entahlah’.
Teruntuk hati, jangan luka lagi. Kuharap
kali ini mendapati singga(h)sana hati yang tepat. Semoga tak ada lagi kalimat
“Jika tak cinta, maka tak luka”, tetapi diganti dengan “semoga cinta,
senantiasa memberi suka”. Mudah-mudahan.
Sonia Anggi, Jakarta Barat, 4 Februari 2013.
oOo
I need your comments! XOXO
Comments
hahahahahaha
tapi gue suka cerpen ini
meski agak kurang klimaksnya pas ketemu di solo
tapi ya lumayan bikin gue mikir kalo gue begitu
hahahaha
Bole sharing sama penulis nya gak ?