Jadi begini rasanya mencintai diam-diam. Melihatnya dari
kejauhan saja, senangnya luar biasa bukan main. Ya, aku mengaguminya bahkan
sekaligus mencintainya sudah hampir 6 tahun, secara diam-dialm. Seharusnya
cintaku bunyi, tak cuma diam. Sebab kami saling mengenal satu sama lain, dan
bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui
messenger.
Yudha Andhika, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku
ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat
itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku,
lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu
bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Yudha dengan Leona
-sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin
bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan
untuk memiliki hatinya, ujar benakku.
Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki?
Filsafat lama pasti sudah memikirkan tentang hal ini. Waktu berjalan dengan
kaki bayangan, kaki yang tak terlihat oleh kasat mata manusia. Waktu ialah
serupa cinta; cuma bisa dirasa. Waktu ialah harapan, setiap langkahnya bergerak
ke depan, membawa angan dan ingin yang ditiupkan angin, berharap selalu tentang
kebaikan. Waktu ialah serupa perempuan; tak mudah ditebak. Waktu terkadang
baik; mendekatkan. Pun waktu terkadang jahat; memisahkan.
Waktu memisahkan kami. Kami?! Ah, maksudku, aku yang
mengharap kami, padahal seharusnya kubilang aku dan dia saja. Entah ketika dia
mengetahui aku yang selalu menyebut aku dan dia ibarat kami, mungkin akan
marah. Sebab memang tak pernah ada kami. Aku dan dia memang tak pernah punya
cerita. Tapi pikirku, dia tak akan pernah tahu tentang rasa diam-diam ini yang
kupunya. Jadi, kuibaratkan kami saja. Masih berharap tentang waktu, masih
berharap tentang kami.
5 tahun yang lalu. Terakhir aku menemui matanya yang kucuri
diam-diam ketika perpisahan sekolah. Dia mengucapkan salam perpisahan. Dan aku,
cuma bisa membalas senyum. Ah, aku masih ingat senyumnya. Manis sekali.
"Kak, apa kabar lo? Kita udah lama banget nggak
curhat-cuhatan. Sekarang kerja di mana lo? Gue udah hampir kelar nih kuliah
gue. Bentar lagi balik ke Bekasi. Aaaak skripsi ngeselin ya Kak. Tapi kan
untung gue pinter. Hehehehe..."
Aku kaget. Satu menit yang lalu memikirkan dia, dia
langsung mengirimiku pesan instan di Blackberry Messenger. Sesegera mungkin aku
membalasnya.
"Alhamdulillah baik. Lo sendiri gimana? Gue di bagian
IT perusahaan, Yudh. Di Bekasi. Hahaha, lo masih nggak berubah ya, Yudh.
Pinter, tapi sombong. Huh! Semoga lancar deh skripsinya ya!", balasku.
"Gue kangen deh sama lo, Kak." Ucapnya, membuatku
ge-er. Aku. Berharap. Lagi.
"Ciyeeee, ada yang kangen sama gue. Hehehehe."
Balasku, penuh percaya diri.
"Ish, pede. Kak, gue ketemu Leona loh di sini. Dia
makin cantik deh, Kak. Makin dewasa. Yaiyalah, Leona lebih tua dari gue.
Namanya juga dulu macarin kakak kelas. Hahahaha. Kita ngobrol panjang lebar
loh." Celotehnya lagi, menghancurkan harap, merusak mood. Jadi, dia
membuat konversasi ini hanya untuk membicarakan yang tak terlalu penting buatku?
Ah, Yudha selalu begitu. Harusnya aku tak usah berharap lagi tentangnya.
"Gue udah lama nggak ketemu dia. Hehehe, pasti lo
seneng banget deh ketemu mantan. Ciyeeee. Eh Yudh, gue harus lanjut kerja. Mau
ngoding lagi. Lanjut nanti ya ngobrolnya. Byeeee!" Aku berbohong, sebab
makin lama Dia membicarakan mantannya, mood-ku bisa semakin berantakan.
Lagi dan lagi, cuma bisa berharap. Memang tak seharusnya
berharap secara terlalu. Memang seharusnya berpindah ke hati yang lain, tak
melulu soal yang lalu. Sebab waktu berjalan.
----
"Ah, sial! Mobilnya mogok! Kenapa begini sih?! Meeting-ku mulai setengah jam
lagi." Gumamku, kesal.
Pagi ini penuh sial. Kopiku tumpah mengenai seragam kantor,
pun mobilku mogok di sembarang tempat, jalan yang jauh dari bengkel ataupun pom
bensin. Ya, aku selalu menghindari jalan yang rawan kemacetan. Sebisa mungkin
aku meminimalisir menggunakan jalan-jalan umum, aku lebih sering menggunakan
jalan alternatif -jalan perkampungan yang masih bisa dilewati mobil satu arah-
agar bisa menghemat waktu.
"Dasar cewek. Punya mobil tapi nggak ngerti mesin.
Coba sini, saya lihat kenapa bisa mogok." Seorang lelaki berpengawakan
tinggi kurus, berkulit putih, pun tampan ini mencoba menolongku tetapi dengan
gayanya yang sok tahu. Huh! Tapi memang, aku tak mengerti soal mesin. Hehe.
"Mbak, ini sih bensinnya abis. Bentar deh, saya beliin
bensin dulu ke depan." Ujarnya.
Sebentar. Aku mengenalinya. Ah iya! Yudha! Yang barusan mau
menolongku dengan gayanya yang sok tahu itu ya cuma milik Yudha. Ini
benar-benar kebetulan yang luar biasa. Waaah, hari ini ternyata bukan hari
sialku. Sebab aku bertemu dengan orang yang selama ini aku harapkan untuk
bertemu.
"Bensinnya udah saya isiin, Mbak. Lain kali, jangan
sampe bensinnya habis gak bersisa. Kasihan mobilnya." Ucapnya, sambil
menuju ke arah mobilnya yang kemudian bergegas untuk berlalu.
Dia tak mengenaliku. Sama sekali tidak. Kupikir, dia akan
memanggil namaku, dan setelahnya kami bisa saling membuat konversasi langsung
yang menyenangkan. Tapi nyatanya tidak. Dia tak mengenaliku. Ah, sial! Kupikir
hari ini berubah jadi hari keberuntunganku, nyatanya tidak. Sikapnya tadi cuma
membuatku diam, dan sedikit bengong.
"Mas, makasih!" Teriakku.
Hal tersebut menyadarkanku untuk segera melajukan lagi
kendaraan roda empat yang dihadiahi ayahku ketika aku berulangtahun di usia 20
tahun. Kembali ke dunia nyata, dan lupakan segara harap yang tak mungkin.
Kepada hati yang penuh harap, logika harusnya siap menantangmu. Ah.
----
Di Kedai Kopi, pukul tujuh malam sepulang kerja. Aku
melihatnya lagi. Dia, jelas tak melihatku. Sebab Kedai sedang ramai, dia mana
mungkin menyadari keberadaanku. Dia memesan kopi hitam panas, di cup kecil,
take away. Datang ke Kedai cuma sepuluh menit, kemudian berlalu. Hal ini
ternyata terus berulang, sampai berlaku ke seminggu berikutnya. Sampai aku
hafal betul kebiasaannya.
Ternyata kami berbeda. Dia meminum kopi selalu di mobil,
sebagai teman tak ngantuk ketika mengendarai. Sedang aku, meminum kopi sembari
meluapkan hobi menulis dan menggambarku, sambil sesekali mencari wi-fi untuk
sharing bersama teman-teman lain melalui sosial media, dan menghabiskan waktu
berjam-jam. Sepeti halnya saat ini, kopiku sudah di cangkir kedua, sketsaku
sudah di lembar ketiga, pun cerpenku sudah di paragraf ke delapan puluh dua.
Serasa ada yang memanggilku. Tetapi dengan panggilan
"Hey!" Yang menurutku kurang begitu sopan. Ah iya, tak semua orang
mengetahui namaku.
"Kita ketemu lagi. Udah dua kali aja kita ketemu. Ah
iya, saya belum tahu nama kamu. Aku, Yudha. Yudha Andhika." Dia
menyodorkan tangannya, tanda perkenalan.
Yudha masih tak mengenaliku. Padahal di Blackberry
Messenger aku begitu sering mengganti display picture menggunakan foto yang
memang wajahku. Ah, mungkin memang dia tak pernah meng-enlarge display
picture-ku di BBm. Dan seharusnya dia mengenaliku karena dulu kami sering
bertemu. Huh. Tapi itu tentang 5 tahun yang lalu. Mungkin aku yang banyak
berubah, sedang dia, tidak.
"Adita, panggil Adit, atau Dita." Sebenarnya ada
sedikit kecewa, tapi tak kutunjukkan. Kemudian kusuguhi senyum yang beberapa
orang bilang senyumku begitu manis. Sedikit PeDe boleh, kan? Oh ya, namaku
Dwiyanova Gina Adita. Di Blackberry Messenger, selalu kutulis Dwiyanova Gina
A., Yudha tak akan pernah tahu A. di dalam namaku. Aku membiarkan dia tak tahu
tentang aku yang sebenarnya, tapi aku tak sama sekali berbohong. Adita memang
benar namaku.
"Adit kan nama cowok. Yaudah, karena kamu nggak sama
sekali kelihatan kayak cowok, jadi saya panggil Dita deh. Hmmmm, anak desain
ya? Gambarnya bagus-bagus, lucu. Kalau yang gambarnya, cantik." Ucapnya,
sambil sesekali melempar senyum yang disisipi tertawa kecil, ah, manis.
Aku serasa menjadi orang lain, yang begitu pendiam, yang
begitu tak mau tertawa biar dia memberiku beberapa humor yang memang seperti
terpaksa dan aneh. Entah, kenapa dia begitu sok akrab kepadaku.
"Ah enggak, cuma hobi aja kok."
"Penulis?"
"Cerpenis blogger."
"Aku nggak begitu suka baca."
"Aku pun."
"Kok suka nulis? Mana ada penulis yang nggak suka
baca. Aneh." Gumamnya.
"Ada, aku."
"Kok bisa?" Yudha keheranan.
"Menulis itu merekam ingatan, mencatat keinginan,
memainkan imajinasi, dan hidup di dunia fantasi. Nggak perlu suka baca, soalnya
cuma tinggal berkhayal, buat dunia baru. Menulis itu membuat dunia sendiri,
sedangkan membaca itu menonton dunia orang lain, dengan seolah-olah kita
berperan dan hidup dalam tulisan itu."
"Kenapa kamu nggak suka baca?"
"Aku lebih suka nonton film. Nonton film dan baca buku
itu ialah pilihan. Bagiku, aku harus memilih salah satu di antaranya. Kamu mau
bilang aku aneh? Silahkan. Semua orang punya caranya sendiri untuk memilih apa
yang disuka maupun tidak. Seperti halnya menggambar, aku nggak tahu teknik
menggambar yang benar, pun menulis dengan kalimat rapi dan berbahasa tinggi,
tapi selagi tiu menyenangkan dan nggak merugikan diri sendiri, i lived on
it."
"Kamu cerewet."
Apa? Cerewet?! Aku bahkan tak tertawa. Aku hanya
menjelaskan apa yang dia pertanyakan. Aku ini sedanf jadi pendiam, pendiam yang
cuma menjawabi pertanyaan-pertanyaan dia yang seharusnya tak kujawab, yang tak
begitu penting. Entah penjelasanku didengar atau tidak, seperti serasa
menceritakan dongeng kepada bayi yang baru kemarin lahir, cuma dijawab
"Oaaa... Oaaaa", huh.
Dasar wanita, mudah sekali kesal. Dengan dia bilang seperti
itu, sudah merupakan tanda bahwa aku harus berhenti bicara. Aku diam.
Hening.
"Kok diem?"
"Tadi dibilang cerewet, giliran diem, ditanya 'kok
diem?'. Hahaha." Aku meledek.
"Saya memperhatikan kok setiap kalimat yang kamu
ucapkan. Saya paham. Kamu itu penulis dan penggambar yang masih malu untuk
unjuk gigi. Yang terkadang selalu merendahkan diri dengan bilang cuma sekadar cerpenis,
dan cuma sekadar suka menggambar yang tak bisa menggamar. Tapi kamu terlihat
sebagai wanita yang segala bisa. Oh ya, saya bilang cerewet karena memang
kenyataannya begitu. Cerewetmu tak menjengkelkan kuping saya. Malah saya senang
dengernya. Nggak apa-apa cerewet asal berisi. Tuh kan, gara-gara kamu saya jadi
ikut cerewet." Jelasnya, panjang lebar.
'Yudhaaaaaaa. Kenapa kamu tak menyadari sama sekali bahwa
ini aku, kakak kelasmu dulu, yang begitu diam-diam megagumimu? Yang sedang
dihadapanmu ini ialah yang selalu kamu panggil Kak Gina. Ah, aku cuma bisa
bergumam dalam hati, menunggu kamu menyadari dengan sendirinya.' Batinku.
"Oke, sekaang giliran kamu yang cerewet dan silahkan
ceritakan tentang kamu. Tapi aku kasih waktu, lima menit."
"Udah kayak interview kerja ya. Huh. Yaudah. Nama saya
Yudha, 23 tahun. Dan saya sama sepertimu, nggak suka baca, dan lebih senang
nonton film. Bedanya, kamu wanita, saya lelaki, dan saya nggak suka gambar.
Saya lebih suka motret dan travel. Kalau film, saya suka sama Adam Sandler dan
Jennifer Anniston. Segitu aja dulu deh, tentang saya, sisanya bisa saya
ceritakan di pertemuan kita yang ketiga, nanti."
Tanpa dia jelaskan pun, aku suh tahu tentang dia lebih
banyak dari yang dia ceritakan barusan. Aku cuma tak mau konversasi ini cepat
berakhir.
"Jangan terlalu yakin kalau akan ada pertemuan ketiga
di antara kita." Entah. Kenapa aku begitu terkesan sombong dan
menjengkelkan. Seperti bukan aku.
"Saya yakin. Sepulang kerja, besok, pukul tujuh malam,
di tempat yang sama seperti halnya malam ini."
"Ya mudah-mudahan. Pulang yuk, udah pukul sepuluh
malam" Ajakku, yang sudah menemui beberapa kantuk menghinggapi kelopak
mata.
"Yuk."
Kami dipertemukan, tetapi di dalam keadaan di mana kami
sedang tak saling jatuh cinta. Maksudku, aku yang jatuh cinta diam-diam,
sendirian.
------
Sepulang kerja, Ibu meneleponku untuk segera pulang, Ibu
minta ditemani sebab Ayah sedang dinas ke luar kota. Jadi malam ini, aku tak
singgah di Kedai Kopi, pun benakku bilang bahwa Yudha tak datang ke Kedai malam
ini.
Pukul sepuluh malam. Led Blackberry-ku menyala merah. Ada
yang mengirimiku pesan instan.
"Kak. Gue ketemu Leona lagi. Tadi sore kita jalan
bareng. Ternyata dia nggak berubah ya, kekanak-kanakannya itu imut, selalu
bikin gue gemes."
Ternyata Yudha, pesannya sudah terlanjur kubaca. Tak
mungkin kuabaikan, biar seberapa besarnya mood-ku rusak tiba-tiba oleh isi
pesannyayang straight to the point.
"Duh, kalian lucunya. Semoga akur terus ya. Duh, gue
jadi kangen kan sama kalian..." Balasku, sesak.
Bagaimana bisa dia masih ingat Leona dengan jelas, sedang
denganku tidak sama sekali? Jawabannya sudah jelas, karena dia tak
memperhatikanku.
"Ya mudah-mudahan kita bisa ketemu, lagian kan gue
udah balik ke Bekasi. Lagi apa, Kak?"
Benar kan? Yudha tak ke Kedai malam ini. Sesore tadi dia
bahkan jalan dengan Leona. Memang harusnya tak usah ada pertemuan ketiga
sebagai Dita dan Yudha lagi. Memang harusnya kupatahkan hatiku agar tak melulu
dia yang menyinggahi benak. Sudahi, mudahi.
"Lagi nonton tv, nemenin Ibu. Soalnya Ayah lagi ke
luar kota."
"Oh, yaudah Kak. Selamat nonton tv bareng Ibu. Salam
buat Ibu".
Chat terakhirnya tak kubaca. Cuma terlihat sebaris dari
display utama notifikasi pesan. Kubiarkan tak terbaca sampai pagi.
-----
Kopi, ialah rutinitasku. Takkan kubiarkan hari-hariku
kurang tanpanya. Kopi favoritku ialah kopi hitam panas dengan dibubuhi sedikit
gula. Kopi sedikit gula, ialah teman menulis gila. Kopi racikan Barista
favoritku ialah Mas Dewa, Barista di Kedai Kopi yang biasa aku singgahi. Malam
ini, aku singgah lagi. Tanpa sedikitpun berharap mata menemuinya. Malam ini,
cuma mau menghabiskan dua cangkir kopi hitam manis panas favoritku, sembari
melepaskan asa yang kurekam dalam sebuah tulisan singkat. Malam ini, aku tak
menggambar, sebab aku lupa membawa pulpen gambar.
"Hei, nggak menggambar?" Lagi-lagi Yudha.
"Lupa bawa drawing pen."
"Nih , aku punya. Tapi yang 0,05 mm. Aku selalu bawa
di saku baju. Tapi nggak tau buat apa."
"Lagi males gambar."
"Hmmmm... Okay. Semalem nggak ke sini ya?"
Menyebalkan. Untuk apa dia menanyakan hal yang tak perlu
ditanyakan. Iya, tak perlu, sebab dia sendiri bahkan tak datang.
"Seharusnya malam ini pertemuan kita yang
keempat." Lanjutnya lagi, sebab aku masih diam.
"Semalam kamu ke sini? Aku nggak ke sini, soalnya ada
urusan lain yang lebih penting."
Baru saja semalam aku mau melupakannya. Tapi lagi-lagi dia
datang, seolah-olah membuka tangan, memberi harap untuk saling bisa
menggenggam. Entah apa yang ada dipikiran lelaki yang satu ini. Hatinya ke
mana-mana. Inginkan Leona, tapi seolah meminta hati dan perhatianku. Ini
mengesalkan, harusnya kalau sudah ada Leona, tak usah bilang soal pertemuan
kami.
"Saya nunggu sampai pukul sepuluh. Habis itu
pulang. Soalnya kamu nggak juga datang." Ucapnya, mengagetkan.
"Maumu apa?!" Emosiku tiba-tiba meledak.
"Saya nggak pernah merasa seyakin ini. Saya menyayangi
kamu." Yudha makin membuatku semakin tak mengerti.
"Kita bahkan baru bertemu tiga kali. Jangan bicara
sembarangan. Kamu bahkan nggak kenal aku." Sesak, aku menahan air mata.
Bagaimana tak sesak, semalaman dia membicarakan Leona, sekarang bilang seperti
itu dengan mudahnya.
"Saya sering memperhatikanmu, jauh sebelum bertemu
denganmu ketika mobilmu kehabisan bensin. Saya sering memperhatikanmu di sini.
Kamu menggunakan syal yang berbeda setiap harinya. Tiga warna yang kuingat,
warna campur gelap dominan merah tua, warna campur gelap dominan biru tua, dan
warna garis-garis hitam abu-abu yang berantakan. Kamu bisa menghabiskan dua
sampai tiga gelas kopi hitam panas sedikit manis, menggambar dan menulis dengan
penuh serius, sendirian. Menghampirimu, islah butuh keberanian yang cukup,
sebab kamu terlalu penuh serius dengan imajimu, sampai tak menoleh ke arahku
yang berada di depanmu, sedang memesan secangkir kopi yang sama denganmu. Saya
selalu memilih untuk membawa kopinya, ialah sebab saya ingin menghampirimu,
tetapi enggan merusak imajimu. Kemarin ialah waktu yang tepat buat saya membuka
konversasi langsung sama kamu. Maaf, jadi saya yang cerewet, cuma sekadar mau
menjelaskan apa yang selama in rasakan." Jelasnya, yang sama sekali tak
membuat semua jelas.
"Aku tanya maumu apa?! Aku tanya sekali lagi maumu
apa?!" Air mata perlahan menetes. Aku berucap, lirih. Gemetaran.
Yudha terdiam.
"Kamu nggak bisa seenaknya mempermainkan perasaan
orang lain. Leona, kemudian aku. Aku Gina, yang selalu kamu kirimi segala
cerita-cerita tentang Leona dan kamu, tentang cinta kalian. Aku Gina, yang
kadang hatinya mudah kecewa tiap kali kamu menceritakan dia. Aku Gina, yang
berharap ketika itu kamu memanggil namaku, tetapi kamu malah berlalu, pun malah
menanyakan namaku. Kamu tahu, aku penuh luka, dan aku ingin lupa!"
Jelasku, masih berlirih.
"Kenapa harus luka? Kenapa harus kecewa?"
"Sebab aku mencintaimu!" Ucapku, refleks.
"Diam-diam?"
"Pikirmu?!"
"Kamu pikir, saya nggak mencintaimu, hah?! Saya
bingung harus melakukan apa ketika itu. Saya mana mungkin mendekatimu setelah
saya memacari sahabatmu. Leona tak bisa membuat saya menyukaimu dengan seyakin
ini. Saya bingung membuat konversasi denganmu di messenger memulainya dengan
apa. Mungkin dengan itu, bisa membuat kita saling bertukar cerita lebih lama.
Tapi saya malah melukai kamu." Jelas Yudha, meyakinkan.
"Aku nggak percaya." Balasku, singkat.
"Kamu harus percaya. Saya tahu kamu, Gina. Dwiyanova
Gina Adita. Saya jelas tahu namamu dari perpisahan sekolah waktu itu. Saya ada,
dan saya yang memotretmu. Saya jelas hafal namamu. Soal waktu itu, saya cuma
sekadar sengaja mencoba menjadi orang asing bagimu. Kamu tahu kenapa? Supaya
kita bisa lebih banyak bicara, sampai larut. Cinta saya diam-diam. Tapi
sekarang tidak. Sebab saya sudah mencoba mengungkapkannya."
"Aku bahkan lebih dulu mencintaimu diam-diam. Aku
lebih dulu mengagumimu."
"Iya, setelah itu saya yang begitu menyukaimu.
Diam-diam juga."
"Lalu?" Aku masih tak menyangka. Aku berasa
sedang bermain dengan imajin di dunia fantasi liarku. Semoga ini benar, dan
bukan sekadardelusi.
"Saya mau kita."
"Maksudnya?" Aku masih keheranan.
"Segala kita, di semua cerita yang kamu buat. Bukan
delusi, bukan imajinasi. Kita, yang membuat ceritanya sendiri. Kita, yang
menghidupi segala fantasimu. Saya sayang kamu."
"Aku juga sayang kamu."
Kami saling meyakinkan hati, di hadapan dua cangkir kopi
hitam sedikit manis yang mendingin sendirinya, cangkir kopi milik kami.
Kami ialah dua yang sama; pecinta racikan kopi yang sama rasa, yang
ternyata saling mencinta diam-diam, pun yang akhirnya cintanya bisa suarkan
suara kejujuran dari masing-masing hati kami.
Malam itu, dia memelukku. Memberi tenang yang luar biasa
candu; menenangkan, mendamaikan.
Sekarang, cinta kami tak lagi diam.
Teruntuk kalian yang cintanya bungkam, belajarlah bicara.
Bicara soal rasa.
Comments